Jumat, 16 September 2016

Kekhalifahan Thoriqoh Syadziliyah Qodiriyah

Tarekat Syadziliyah Qodiriyah di Yogyakarta





Syekh ArifBillah Abuya Dimyati Termasuk Sulthonul 'Auliya' Ghautsul 'Adhom Hadzazzaman
Syekh ArifBillah Abah KH. Mas'ud Thoha Termasuk Sulthonul 'Auliya' Ghautsul 'AdhomHadzazzaman
Abah Afandi sebagai murid beliau adalah satu-satunya pengganti dan penerusnya ke Khalifahan beliau-beliau. (memegang 2 kekhalifahan Thoriqoh Besar Syadziliyah Qodiriyah)





Khalifah (Arab:خليفة Khalīfah) adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632). Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu'minīn(أمير المؤمنين) atau "pemimpin orang yang beriman", atau "pemimpin orang-orang mukmin", yang kadang-kadang disingkat menjadi "amir".
Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu BakarUmar bin KhattabUtsman bin Affan, danAli bin Abi Thalib)


Dalil al-Qur'an
Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki Khalifah atau al Ghauts (dalam hierarki tarekat) dan wajibnya membimbing umat dengan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian. (Qs. An-Nisaa` [4]: 59).
Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk menaati Khalifah atau Al Ghauts Hadzalzaman, Perintah ini, secara dalalatul iqtidha, berarti perintah wajib umat islamuntuk mencari Khalifah atau Al Ghauts Hadzalzaman, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk menaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk menaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.
Maka menjadi jelas bahwa kewajiban umat islam baiat dan taat kepada khalifah atau al-ghauts hadzalzaman adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, Sebab adanya ulil amri atau khalifah atau al-ghauts menyebabkan terlaksananya kewajipan membimbing kearah penerapan hukum syara’, sedangkan mengabaikan baiat dan taat kepada ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Jadi baiat dan taat kepada ulil amri atau khalifah atau al-ghauts itu adalah wajib
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:
Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (Qs. Al-Maa’idah [5]: 48).
Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu (Qs. Al-Maa’idah [5]: 49).
Dalam kaidah usul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khitab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khitabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as-Sulthan), sebab dengan Kekhalifahan atau kepemimpinan Al-Ghauts hadzazzaman secara tidak langsung umat dituntun untuk diterapkan hukum-hukum yang diturunkan Allah. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah kekhalifahan untuk menjalankan semua hukum Islam.
Dalil as-Sunnah tentang Khalifah
  1. Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim].
  2. Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan menyifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
  3. Rasulullah SAW bersabda: "Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]
  4. Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak. Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka." [HR. Muslim].
  5. Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (khalifah atau al-ghauts hadzalzaman) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].
Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti (fardlu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.
Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Berarti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan kekhalifahan atau mencari seorang al-ghauts hadzazzaman bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.
Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].
Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk menaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.
Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya baiat dan taat kepada Khalifah atau Al-Ghauts Hadzalzaman bagi kaum muslimin.






Al-Qur’an memberi kebebasan kepada manusia untuk mengimani atau mengkafiri keberadaan khalifah Allah Swt, sebab kerugian dan keuntungan adanya khalifah, bukan klembali kepada Allah Swt, melainkan kepada manusia sendiri. Sebagaimana yang tercermin dalam firman-Nya Qs. Fathir : 39 
  هُوَالذِي جَعَلكُمْ خَلاَئِفَ فِي الاَرْضِ فَمَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ
      
Dan Dia (Allah)-lah yang menjdikan kamu khalifah-khalifah dimuka bum
i. Barang siapa yang kafir, maka dialah yang menanggung resikokekafiranya.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelasan, dengan menukil perkataan sahabat Abu Bakar Ra, yang mengatakan, bahwa khalifah ini adalah خَلِيْفَةُ الرسُوْلِ : Khalifahnya Rasulullah Saw.
Demi stabilnya ekosistem alam, Allah Swt menjadikan ummat Rasulullah Saw untuk menjadi pimpinan diatas bumi. Firman Allah Swt, Qs. an-Nur : 55
وَعَدَ اللهُ الذِيْنَ امَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ يِي الاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنّنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمْ الَذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِخَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي وَلاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal yang sholeh, bahwa sungguh-sungguh (Allah) akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana (Alah) menjadikan orang-orang yang sebelum mereka. Dan sungguh (Allah) akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhai-Nya untuk mereka. Dan (Allah) benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun.  
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, menjelasakan bahwa ayat ini merupakan berita tentang mukjizat Nabi Muhammad Saw yang telahmengetahui sebelumnya akan yang adanya khalifah dari ummatnya, dan sekaligus dan sebagai pemberitaan Allah swt kepada ummat Rasulullah Saw  :
 هَذَا وَعْدٌ مِنَ اللهِ لِرَسُولِهِ بِأَنَّهُ سَيَجْعَلُ أُمَّتَهُ خُلَفَاْ الآَرْضِ
 Ini adalah janji dari Allah kepada rasul-Nya, bahwa sesungguhnya (Allah) akan menjadikan ummat-Nya sebagai kholifah dibumi.
Dalam memberi penjelasan ayat ini, Imam Ibnu Katsir – memperkuatnya dengan  hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim    :
لاَيَزَالُ طَائِفَةُ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلّهُمْ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ – وفِي رِوَايَةٍ – حَتَّى يُقَاتِلُونَ الدَجَّالَ – وَفِي رِوَايَةٍ – حَتّى يَنْزِلُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ.  وكُلُّ هَذِهِ الرِوَايَةِ صَحِيْحَةٌ وَلاَ تُعَارِضُ بَيْنَهَا
Tidak sepi dari ummat-Ku sekelompok manusia yang memperjuangkan kebenaran, yang mana tidak dapat memberi madlarrat kepada mereka orang-orang yang menghinakannya, sampai hari kiamat.  
Dan dalam riwayat lain : sampai mereka dapat membunuh dajjal,  dan  dalam riwayat lain  : sampai turunnya Nabi Isa Ibn Maryam.
Setiap riwayat hadis ini adalah shahih, tanpa adanya pertentangan antara hadis satu dengan hadis lainnya.
Imam Qurthubi, memberikan penjelasan ayat ini dengan menyertakan sabda Rasulullah Saw :
 زَوِيتْ لِي الاَرْضَ فَرأَيْتُ مَشَارِقَهَاوَمغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ ملَِكَ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا
Sesungguhnya Allah telah melipat bumi untuk-Ku, sehingga Aku dapat melihat bagian timurnya dan bagian baratnya.  Dan juga akan sampai kepadaraja ummat-Ku sesuatu yang seperti bumi dilipat untuk aku.
Dari kedua tafsir ini, dapat dipahami bahwa keberadaan khalifah Allah Swt itu sampai hari kiamat, sampai terkalahkannya Dajjal dan atau sampai turunnya nabi Isa As dalam bumi ini. Dan para kholifah itu atau pimpinan rohani ummat Rasulullah Saw ini diberi anugrah oleh Allah sebagimana anugrah yang diberikan kepada Rasulullah Saw.
Kata al-Ghatsu adalah istilah yang sangat terkenal dalam kalangan kaum sufi dan para waliyullah. Beliau Ra merupakan figur sentral dan sekaligus sebagai tauladan dalam menjalankan tuntunan Islam secara syari’ah dan  hakikah serta  lahiriyah  dan batiniyah. Dari sisi ketaqwaan, Beliau ra adalah hamba Allah Swt yang  paling taqwa pada zamannya. Al-Ghauts Ra sering disebut Quthb al-Wujud, karena Beliau sebagai pusat segala wujud secara ruhaniyah. Al-Ghauts Ra merupakan satu-satunya wakilRasulullah Saw dalam mengemban tugas khalifah dalam alam fana ini, serta sebagai tempat tajalli-Nya yang sempurna (lihat HR. Muslim yang diulas dalam bahasan kelemahan Waliyullah).
Secara bahasa, al-Qur'an dan hadis diturunkan secara mujmal (ringkas). Namun kandungannya menjelaskan keberadaan Allah Swt dan seluruh maujud. Tak satupun dari inti maujudat yang tidak diulas dalam al-qur’an maupun al-hadis. Oleh karenanya, mengkaji kandungan al-Qur'an dan hadis (beristinbath), untuk mengeluarkan mutiara hikmah yang tersimpan didalamnya merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh Islam (HR. Muslim yang telah diulas sebelumnya). Para ulama, sesuai bidang keilmuan masing-masing, berusaha menggali kandungan hadis dan al-Qur’an. Misalnya penemunan ilmu tajwid, nahwu/ sharaf, fiqih/ ushul fiqh, tasawuf/ tarekat, mushthalahul hadis, tafsir, faraidl, ilmu da’wah, manthiq, balaghah, hisab, perbintangan, dan ilmu-ilmu lain.
Kata al-Ghauts, secara redaksional (tersurat) tidak terdapat dalam teks al-Qur’an dan al-hadits. Sebagaimana istilah-istilah dalam ilmu (baik secara global maupun rinci), yang secara redaksional kata-kata tersebut tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-hadis.. Misalnya; manthiq (tashawwur, tashdiq, hujjah, dan lainnya), ilmu ushul fiqh (mafhum muwafaqah, qiyas, ijma’ dan lainnya), ilmu nahwu/ sharaf (mubtada’ khabar, maf’ul, badal, dan lainnya), balaghah (hakikat, majaz, tasybih, kinayah,  dan lainnya), musthalah al-hadits (shahih, hasan, dla’if, maudlu’, marfu’ mauquf, dan lainnya), biologi (kromoson, genetika, amuba, sel, DNA, dan lainnya),  ilmu fisika (atmosfir, senyawa kimia, karbohidrat dan lainnya), ilmu ekonomi (sosialis, kapitalis, surplus perdangangan, dan alinnya),  perbankan (valuta, deposito, debet, dan lainnya), dan ilmu-ilmu lain baik yang sudah ditemukan maupun yang belum ditemukan. Namun, keberadaan ilmu tersebut, menurut para ahlinya, telah tersirat didalam al-Qur‘an dan al-hadits.
Dan kesimpulan para ulama kaum sufi dan para waliyullah, al-Qur’an dan hadits telah menunjukkan keberadaan al-Ghauts Ra, dimana setiap Beliau Ra almarhum, Allah Swt mengangkat salah satu waliyullah lain untuk menggantikan kedudukannya.
Al-Qur’an,  menerangkan keberadaan al-Ghauts Ra dengan kata ;khalifah / الخليفة (wakil Tuhan),  Imam/ الامام (pimpinan manusia), Ulil amri/ اُولِىالاَمْر (ulama yang menguasai perkara ummat secara batiniyah).
Sedangkan dalam hadis  menjelaskannya dengan kata :  khair /خَيْر(yang terbaik), al-Wahid الوَاحِد(hamba yang satu dalam setiap waktu),malik / مَلِكُ (raja), aimmahأئمة  (pemimpin), shurah/ صُورَة (citra/ salinan. Kalimat ini hanya merupakan gambaran saja), dan مَقَامْmaqam (berasal dari kata aqaamaأقَامَ : menduduku siri kerasulan/  dalam istilah thariqah Qadiriyah, disebut dengan naaibur rasul = wakil rasul).



Laknat Allah Bagi Mereka Yang Memusuhi Waliyullah
Allah Swt tidak menghendaki kaum muslimin keluar dari barisan Sulthanul Auliya'. Dan Allah Swt sangat murka kepada orang yang membenci atau memusuhi waliyullah. Seseorang yang dalam hatinya terdapat rasa permusuhan atau kebencian terhadap waliyullah apalagi al-Ghauts Ra, dapat menyebabkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah. Sebagaimana tercermin dalam hadis dibawah ini :
1.                 Hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah Ra , Rasulullah Saw bersabda   : 
اِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا, فَقَدْ اَذَ نْتُهُ بِالحَرْبِ  
Sesungguhnya Allah Swt berfirman : Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku  menyatakan perang kepadanya.
2.                 Hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Abi Bakrah Ra, Rasulullah Saw bersabda    :
مَنْ أَهَانَ السُلطَانَ أَهَانَهُ اللهُ  
Barangsiapa menghina Sultan, maka Allah  akan menghinakannya”
Yang dimaksud mengina sultan hadis ini, kitab “Dalil al-falihin”, juz III menjelaskan, hal-hal yang dapat dikatakan menghina antara lain,  menganggap ringan perintahnya. Dan yang dimaksud Allah akan menghinakanya, adalah jalan hidupnya didunia akan semakin tersesat dan terperosok kejalan setan, dan diakhirat akan menerima siksa Allah Swt yang pedih.
3.                 Hadis riwayat Imam Muslim dari Ibn Abbas (Shahih Muslim Kitab "Imarah" bab "Luzumul Jama'ah"),  Rasulullah Saw bersabda :
 مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْعَلَيهِ, فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَاسِ يَخْرُجُ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
Barangsiapa yang (melihat sesuatu) yang kurang menyenangkan dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Sultan sejenggkal saja, kemudian ia mati, maka ia mati dengan mati (kafir)  jahiliyah. 
Kata “amir” dan “sultan” dalam hadis ini dapat diartikan umum (semua orang yang menjadi pimpinan), dan arti khusus (Amirul khalqi (pimpinan para waliyullah, dan semua makhluk, atau Guru ruhani yang berpangkat al-Ghauts Ra). Dan Para kaum sufi dan waliyullah, mengartikannya dengan arti khusus.



Jumlah al-Ghauts Ra Pada Setiap Waktu.
Allah Swt adalah Maha Satu, Rasulullah Saw juga hanya satu, maka sudah tentu khalifah Allah-pun hanya satu. Banyak keterangan dari hadits Nabi Saw, bahwa dalam setiap waktu hanya ada satu orang yang menjadi tempat tajallinya Allah Swt. Dialah al-Ghauts Ra pada masanya.
Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra dalam kitabnya al-Yawaqit wal Jawahir juz II halaman 81. menjelasan :
 فِيْمَا بَيْنَ القَوْمِ لاَ يَكُونُ مِنْهُمْ فِي الزَماَنِ اِلاّ وَاحِدٌ وَهُوَ الغَوْثُ
Dan diantara mereka, dalam setiap waktu, kecuali adanya satu hamba Allah. Dialah al-Ghauts.
Dan dalam kitab yang sama pada halaman 80 dijelaskan :
فَلاَ يَخْلُوزَمَانٌ مِنْ رَسُولٍ  يَكُوْنُ فِيْهِ وَذَاِلِكَ هُوَالقُطْبُ الذِي هُوَ مَحَلُّ نَظْرِالحَقِّ تَعَالَى مِنَ العَالَمِ كَمَا يَلِيْقُ بِجَلاَلِهِ وَمِنْ هَذَاالقُطْبِ يَتَفَرَّعُ جَمِيْعُ الاِمْدَادِالالهية علَى جَمِيْعِ العَالَمِ العُلْوِي وَالسُفلِي           
Tidak akan sepi pada setiap zaman dari seorang rasul-nya Nabi Muhammad Saw (mujaddid). Dialah al-Quthbu (al-Ghuts Ra), yang menjadi tempat pancaran sinar pemeliharaan Allah kepada agama Islam dan alam. Dan kemudian dari Beliau Ra bercabang-cabanglah seluruh pemeliharaan tersebut kepada alam atas dan alam bawah. 

h.                 Gelar  Bagi Al-Ghauts  Ra
Berbagai macam gelar dan sebutan yang diberikan oleh para kaum sufi dan para auliyaillah kepada al Ghautsu Ra. Gelar dan sebutan tersebut disesuailan dengan tugas dan fungsi Beliau Ra. Sedangkan gelar al-Ghauts, diberikan kepada Beliau Ra karena fungsinya sebagai penolong bagi seluruh ummat tanpa pandang bulu.
Banyak sekali gelar dan panggilan yang sesuai dengan tugas batinyah dan yang diberikan kepada al-Ghauts Ra. Dan disini hanya diterangkan sebagian saja, antara lain  :
1.       Insan Kamil.  (Manusia Sempurna).
Dalam kitab Misykat al-Anwar pada bahasan “al-Quthbu” Imam al-Ghazali menyebut al-Ghauts Ra dengan al-Insan al-Kamil (manusia sempurna dalam iman, taqwa dan akhlaknya) :
 فَاِنَّ مَنْ يَجْمَعُ بَيْنَ الظَّاهِرُ والبَاطٍنُ جَمِيْعًا فَهَذَا هُوَ الكَامِلُ
 Barang siapa dapat mengumpulkan (pemahaman) alam lahir dan alam batin secara menyeluruh, dialah manusia sempurna.
Gelar ini diberikan kepada Beliau al-Ghauts, karena kesempurnaan ahlaknya seperti akhlak Rasulullah Saw (sebagai fotocopy pribadi Rasululllah Saw) .
Sebagaimana penjelasan Imam Sofyan Tsaury Ra (ulama sufi yang ahli hadis) – yang berdasar pendapat para tabi’in - membagi ulama kedalam 3 (tiga) bagian  : 
العُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ :عَالِمُ  بِاللهِ يَخْشَى اللهَ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِأَمْرِ اللهِ, عَالِمٌ بِاللهِ وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ  يَخْشَى اللهَ فَذَاكَ العَالِمُ الكَامِلُ,  وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللهِ فَذَاكَ العَالِمُ الفَاجِرُ
Ulama ada tiga kelompok;  Ulama yang memahami tentang ilmu BILLAH, serta takut kepada Allah, namun ia tidak alim tentang hukum-hukum Allah.Dan, Ulama yang memahami BILLAH serta alim tentang hukum-hukum Allah, dan ia takut kepada Allah. Dan dialah orang alim yang sempurna. DanUlama yang memahami hukum-hukum Allah, tapi tidak alim tentang ilmu BILLAH. Dan dialah ulama yang durhaka.
2.           Al-Quthbu (wali quthub) atau  Quthbul Wujud (Poros Wujud).
Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena tanggung jawabnya dalam alam – sebagai penjaga dan pelestari alam semesta.
اِعْلَمْ حَفَظَكَ اللهُ اِنَّ الاِنْسَانَ الكَامِلَ وَهُوَالقُطْبُ الذِي تَدُوْرُ عَلَيْهِأَفْلاَكُ الوُجُودِ مِنْ اَوَّلِهِ اِلَى اَخِرِهِ وَهُوَ وَاحِدٌ مُنْذُ كَانَ الوُجُودُ اِلَى اَبَدِ الاَبَدِيْنَ ثُمَّ لَهُ تَنَوُّعٌ  فِي مَلاَبِس وَيَظْهَرُ فِي كَنَائِس وَاسْمُهُ الاَصْلِيُ الَذِي هُوَ لَهُ مُحَمَّدٌ وَلَه فِي كُلِّ زَمَاٍن اِسٌم مَايَلِيْقُ بِلِبَاسِهِ
Ketahuilah, semoga Allah menjagamu. Sesungguhnya manusia paripurna itu adalah al-Quthbu, yang mana seluruh wujud dari awal sampai akhir senantiasa mengitarinyaBeliau itu hanya satu selama wujud ini masih ada. Beliau menampakkan diri dengan berbagai macam baju dan sangkar. Sedangkan asalnya nama al-Quthbu adalah untuk  Nabi Muhammad Saw. Beliau Saw dalam setiap zaman bersama umat manusia dengan baju al-‘Arif  tersebut, dengan menyesuaikan keadaan zaman.

Dan didalam kitab al-Yawaqit wal-Jawahir, oleh Sayyid Abdul Wahhab As-Sya’rani,  halaman  82, menerangkan :
اِعْلَمْ اِنَّ بِالقُطْبِ يَحْفَظُ اللهُ دَائِرَةَ الوُجُودِ كُلَهُ فمَنْ عَلِمِ هَذاَ الامْرَ عَلِمَ كَيْفَ يَحْفَظُ اللهَ الوُجُودَ عَلَى عَالَمِ الدُ نْيَا
Ketahuilah, sesungguhnya melalui al-Quthbu (al-Ghauts),  Allah  menjaga  alam wujud ini secara keseluruhan. Barang siapa yang mengerti (rahasia) perkara ini, maka ia mengerti bagaimana Allah menjaga wujud alam.
Dalam Kitab at-Ta’rifaat-nya  Syeh Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, dan dalam kitab Jami’ al-Ushul Syeh Kamsykhanawi, bab “wawu” dan bab “qaf”,  dijelaskan  :
القُطْبُ وَقَدْ يُسَمَى غَوثًا وَهُوَ مَوضِعُ نَظْرِ اللهِ فِي كُلّ زَمَانٍ أَعْطَاه الطَلسم الآَعْظَمُ,  يُفِيْضُ رُوحُ الحَيَاةِ عَلَى الكَوْنِ الآَعْلَى وَالآَسْفَلَ
Wali Quthub, kadang dinamakan Ghauts. Beliau sebagai tempat memancarnya pandangan Allah. Beliau juga mengalirkan cahaya kehidupan kepada alam baik bawah maupun atas.
القَطْبِيَةُ الكُبْرَى: هِيَ مَرْتَبَةُ قُطْبِ الآَقْطَابِ وَهُوَ بَاطِنُ نُبُوَّةِ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ السلاَمُ, فَلاَ يَكُونُ إِلاَّ لَوَرَثَتِهِ لاحْتِصَاصِهِ عَلَيْهِ بِالآَكْمَلِيَةِ. فَلاَ يَكُونُ خَاتِمُ الوِلاَيَةِ وَقُطْبُ الآَقْطَابِ إِلاَّ عَلَى بَاطِنُ خَاتَمِ النُبُوَّةِ
Wali Quthub yang besar adalah martabat Qutubnya quthub. Beliau adalah sirri nubuwwah Muhammad Saw. Tidak ada wali quthub, kecuali kepada ulama pewaris Muhammad Saw. Hal ini memang khusus kepada mereka. Tidak ada penutup kewalian dan pusat para wali quthub, kecuali pada jiwa penutup para Nabi.
Dalam kitab Ghayatul Qashdi wal Murad juz I halaman 123, diterangkan tentang kaidah yang mashur dalam kalangan kaum sufi. Bahwa para ulama muhaqqiqin membagi kedudukan quthub kedalam 3 bagian. Pertama, quthbul ilmi, seperti Hujjatul Islam Imam al-Ghazali Ra. Kedua, quthbul ahwal, seperti Syeh Abu Yazid al-Bushthami Ra. Ketiga, quthbul maqaamat, seperti Syeh Abdul Qadir al-Jailani.
3       Wahiduz Zaman (satu-satunya  hamba Allah pada zaman itu).
Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena hanya Beliaulah yang menguasai seluruh sari ilmu agama dan kitab Allah yang diturunkan kedunia. Dan dalam hadis, Rasulullah Saw, juga menggunakan al-Wahid, ketika memaksudkan al-Ghauts Ra.
Syeh Abdul Wahhab As-Sya’rani, dalam kitabnya Lawaqih al-Anwar wa Thabaqah al-Ahyar  jilid II, dalam bab “Muhammad Wafaa”, menukil fatwa Muhammad Wafa :
لِكُلِّ زَمَانٍ وَاحِدٌ لاَمِثْلَ لَهُ فِي عِلْمِهِ وَحِكْمَتِهِ مِنْ أَهْلِ زَمَانِهِ وَلاَ مِمَّنْ هُوَ فِي زَمَانٍ سَابِقٍ وَلِسَانُ هَذَا الوَاحِدُ فِي زَمَانِهِ لِتَلاَمِيْذِهِ : كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَاسِ
Untuk setiap zaman terdapat satu hamba Allah yang tiada bandingannya dalam ilmunya dan hikmahnya, dan tiada yang membandinginya hamba-hamba (pewaris) masa lalu. Dan bahasa dari hamba satu ini dalam setiap zaman kepada muridnya :  Engkau adalah ummat manusia terbaik yang diturunkan kedunia.
Syeh Amin Al Kurdi Ra menjelakan : 
          لاَبَنْبَغِي لِلْعَالِمِ وَلَوْتَبَحَّرَ فِي العِلْمِ حَتّى صَاَر وَاحِدَ اَهْلِ زَمَانِهِ اَنْ يَقْنَعَ بِمَاعَلَّمَهُ وَاِنَّمَا الوَاجِبُ عَلَيْهِ الاجْتِمَاعُ بِاَهْلِ الطَرِيْقِ لِيَدُلُّوهُ عَلَى صِرَاطِ المُسْتَقِيْمِ. وَلاَ يَتَيَّسَّرُ ذَاِلَك (كُدُورَاتِ الهَوَى وَحُظُوظُ نَفْسِهِ الاَمَّارَةِ بِالسُوءِ( عَادَةً اِلاَّ عَلَى يَدِ شَيْخٍ كَامِلٍ عَالِمٍ فَاِنْ لَمْ يَجِدْ فِي بِلاَدِهِ اَوْاِقْلِيْمِهِ وَجَبَ عَلْيْهِ السَفَرُ اِلَيْهِ
           Tidak patut bagi orang alim, meskipun ilmunya seluas lautan, sudah merasa puas dengan ilmunya. Kecuali ia telah menjadi Wahiduz Zaman  pada waktu itu. Bahkan ia wajib bagi mereka berkumpul dengan para ahli tarekat, agar ia ditunjukkan kearah jalan yang lurus. Karena tidak mudah menghilangkan kotoran dan keinginan serta lembutnya nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kecuali ia dibawah kekuasaan dan bimbingan Syeh Yang Kamil dan Alim dalam hal tersebut. Dan apabila didaerahnya atau dilingkungannya tidak ada guru Syeh Kamil, maka ia wajib pergi menuju daerah dimana Syeh Mursyid Yang Kamil berada.
4.       Sulthanul Auliya’ (Raja Waliyullah) dan Ru’usul ‘Arifin. Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts, disamping sebagai penolong ummat dari belenggu kemusyrikan,  juga sebagai pimpinan para waliyullah Ra dan para ulama Arif Billah wa Rasulihi Saw.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar